Quantcast
Embrio NU adalah Taswirul Afkar (TA), yaitu sebuah gerakan diskusi yang didirikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah (Aula, Nop., 2001: 8). TA merupakan gerakan para pemuda dan lahir dari ide pemuda, yang melatih diri dalam melahirkan pikiran dalam suatu acara diskusi. Apa yang dibicarakannya adalah tentang situasi zaman yang saat itu sedang bergolak dengan gerakan menanamkan kesadaran kebangsaan yang dipelopori oleh Sarikat Islam (SI). Gerakan SI ini semula memperlihatkan kekuatan politiknya di Surabaya di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto. Oleh kerana itu tidak mengherankan jika KH. Abdul Wahab Hasbullah mengambil inisiatif mendirikan organisasi TA yang banyak membicarakan masalah tanah air di Surabaya (Suryanegara, 1996: 224).
Bergabungnya KH. Mas Mansur dalam kegiatan TA maka gerakan tersebut tampil dengan nama baru, Nahdlatul Wathon (NW) pada tahun 1916. Walaupun NW dalam setiap acara atau kegiatannya membidangi pendidikan umat Islam, namun dapat dibaca dengan jelas arti nama NW kemana arah tujuannya, yaitu membangkitkan kesadaran nasional melalui pendidikan. Pilihan jalur pendidikan sebagai media rekrumen dan sosialisasi politik adalah sangat tepat, sebab pemerintah kolonial Belanda melalui Politik Etis-nya hanya merestui gerakan yang semata-mata bergerak dalam pendidikan. Akan tetapi, NW tidak berarti sebagai gerakan sosial pendidikan yang pertama dalam masa gerakan nasional (1900-1942). Sebab sebelumnya telah lahir Muhammadiyah (1912), SI (1912), Perserikatan Ulama (1915) dan lain-lain. Jadi munculnya NW sebagai upaya meluaskan gerakan sosial pendidikan umat Islam (Thoha, 1994: 27, Suryanegara, 1996: 225).
Kerja sama antara KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan KH. Mas Mansur untuk sementara tidak berlanjut akibat perbedaan pilihan sistem pemecahan masalah nasional yang dihadapi saat itu. KH. Mas Mansur memisahkan diri dan kemudia bergabung dengan Muhammadiyah tahun 1922. Sedangkan KH. Abdul Wahab Hasbullah kemudian membubarkan NW, setelah itu membentuk organisasi kepemudaan yang diberi nama Subbanul Wathon (SW) tahun1922 (Suryanegara, 1996: 225).
Kita lihat kiprah KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam pentas nasional dalam rangka memberikan kesadaran pada masyarakat Muslim akan arti penting kemerdekaan. Silih berganti ia mendirikan organisasi sosial pendidikan dengan tujuan hal tersebut di atas. Tidak diragukan lagi, ternyata KH. Abdul Wahab Hasbullah seorang organisatoris yang handal dan mempuni. Ini terbukti kelihaian beliau dalam merespon setiap detik situasi masa itu. Termasuk nanti bagaimana ia mendirikan NU.
Kemudian, karena nama SW terkesan kurang dekat kepada para ulama yang berakibat pula para ulama tersebut kurang respek terhadap SW, maka untuk menambah agar perjuangan memajukan umat Islam didukung oleh para ulama sangat diperlukan sebuah nama yang populer di mana nanti ia akan dicintai oleh mereka.
Atas usul KH. Alwi Abdul Aziz, SW oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dirubah menjadi Nahdlatul Ulama (NU), setelah disepakati oleh para ulama yang hadir di rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam rangka mendirikan organisasi sosial yang berbasis ahlusunnah wal jamaah (Bruinessen, 1999: 38). Kesepakatan itu berlangsung pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M. Pada hari itulah lahirnya organisasi muslim tradisionalis paling besar hingga saat sekarang ini, yang bernama NU (Ricklefs, 1998: 267, Suryanegara, 1996: 227). Organisasi ini kemudian mendapat pengakuan secara de jure dari pemerintah kolonial Belanda, sesuai dengan surat keputasan tanggal 6 Februari 1930. sejak saat itu, NU hadir di tengah umat Islam dalam jangka waktu yang tidak terbatas (Ensiklopedi Islam III, 2001: 353, Feillard, 1999: 12).
Perlu juga disebutkan, bahwa dalam pertemuan di rumah kediaman KH. Abdul Wahab Hasbullah di atas para ulama menyepakati tiga point penting dalam rangka merespon situai dan kondisi umat Islam secara global, yaitu kondisi umat yang sejak tahun 1924 sudah tidak memiliki paying tunggal yang mau melindungi dari berbagai ancaman yang ditimbulkan oleh kolonialis kapir Eropa, yang berupa kekhilafahan di Turki Utsmani.
Tiga point kesepakatan itu antara lain:
  1. Meresmikan berdirinya komite hijaz untuk mengirim delegasi ke Saudi Arabia guna bertemu dengan raja Ibn Sa’ud. Adapun yang bertugas sebagai utusan adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghanim al-Mishri (Ricklefs, 1998:  269, Feillard, 1999: 11).
  2. Membatasi masa kerja komite hijaz hingga pulang dari menjalankan tugas di Makkah, maka komite hijaz dibubarkan.
  3. membentuk suatu jami’ah atau organisasi sebagai wadah untuk memperstukan para ulama menuju tercapainya ‘izzatul Islam wal Muslimin (Thoha, 1994: 28).
Sebab-sebab para ulama mendirikan NU, atau sebagai latar-belakang NU didirikan ada dua macam, yaitu:
  1. Sebab Umum
Sebab umum, adalah kondisi umat Islam secara general, yaitu meliputi seluruh dunia muslim, di mana umat Islam secara merata dalam kondisi memprihatinkan. Dunia Arab berada dalam cengkraman Prancis dan Inggris. Sementara di Afrika Utara, berada dalam telapak kaki penjajah Prancis, Italia dan Spanyol. Sedangkan Asia Tengah dan Selatan berada dalam genggaman penjajah Inggris, Prancis dan Rusia. Adapun Dunia muslim Melayu, dihancur-leburkan oleh kolonialis Belanda, Inggris, Portugal, Spanyol dan Prancis.
Sebab umum yang paling mendapat respon para ulama seluruh dunia muslim, juga Indonesia, adalah tumbangnya Khilafah Islamiyah Ustmani di Turki oleh kaki tangan ziones dan penjajah Inggris yang bernama Musthafa Kamal Atturk pada bulan Maret tahun 1924 (al-Muhtasib, 1998: 1-30, Suryanegara, 1996: 227).
  1. Sebab Khusus
Sebab Khusus, adalah kondisi umat Islam di Indonesia itu sendiri. Pada era akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, umat Islam Indonesia digempur paham pembaharuan yang dipelopori oleh kaum modernis, di mana paham ini mengusung Wahabisme dari Arab Saudi (Ensiklopedi Islam III, 2001: 352-353, Feillard, 1999: 11, Bruinessen, 1999: 28). Tidak henti-hentinya kaum Modernis mengkritik secara kasar amalan para ulama dan kaum muslim tradisionalis, di mana dalam kaca mata kaum Modernis, amalan-amalan itu semuanya bid’ah tidak tidak bersumber pada al-Qur’an dan hadis Nabi SAW yang soheh. Amalan-amalan yang dikritik itu seperti misalnya tahlilan, baca ushalli pada takbir pertama, haul, rakaat shalat tarawih dan sebagainya.
Sebab khusus yang lainnya adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah Belanda (SNI Jilid V, 1993: 177).
Sampai dengan tahun 2004 kemarin, NU telah mengadakan Muktamar sebanyak 31 kali. Saat ini NU dipimpin oleh KH. Sahal Mahfudh sebagai Roisy Aam, dan KH. Hashiem Muzadi sebagai ketua Tanfidziyah (PB, Pengurus Besar).
3.  Nahdlatul Ulama Peran Dan Fungsinya Terhadap Umat Islam.
Sejak semula umat Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 (al-Islam, edisi 344/XIV, Suryanegara, 1996: 82), telah disambut dengan antusiasme dan penuh persahabatan. Sambutan ini muncul karena Islam disebarkan dengan jalan damai dan kekeluargaan. Islam menyebar dengan massif melalui dua pintu utama, yaitu melalui perdagangan dan perkawinan (Rikclefs, 1998: 3). Dari kedua sunbu inilah Islam tertanam dengan baik di hati masyarakat Indonesia. Disamping juga, kita akan merasa takjub tatkala membaca penyebaran islam yang dilakukan oleh para Ulama. Mereka tidak pernah berkonfrontasi dengan kepercayaan dan adat yang ada dalam masyarakat Indonesia. Malah para Ulama itu memepergunakan kepercayaan dan adat tersebut sebagai sarana penyebaran Islam ditengah masyarakat Hindu dan Budha. Terbukti wahana ini amat ampuh menarik orang-orang Hindu dan Budha untuk masuk Islam.
Mitode dakwah tersebut secara turun temurun tetap dipertahankan. Sampai kemudian ia di adopsi oleh para Ulama yang bergabung dalam NU. NU, sambil tetap memelihara adat yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia, ia juga menggiring kepercayaan atau adat tersebut pada syari’ah Islam. Berbagai kepercayaan dan adat oaring Indonesia dapat NU warnai dengan nuansa keislaman, seperti hari kematian kemudian ada tahlil, tingkepan, wayang, sekatenan dan lain-lain semua ada unsur keislamannya.
Sekurang-kurangnya ada dua hal yang membuat Ulama memperoleh tempat istimewa dalam sanubari muslimin Indonesia, yaitu pertama; Ulama adalah orang yang paling dapat dipertanggung jawabkan secara moral akan ilmu, amal, dan akhlaqnya. Sebab Ulama sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW yang artinya Ulama adalah pewaris para Nabi. Kedua, seoarang yang selalu mempunyai kewibawaan dan pengaruh di tengah-tengah masyarakatnya (Thoha, 1994: 25).
Memperhatikan pernyataan tersebut maka wajar jika kemudian NU mempunyai tempat istimewa di sanubari Muslim Indonesia (Djumhur dan Danasuparta, 1976: 184). Peran dan fungsi NU di tengah-tengah berbagai macam aliran di Indonesia sangat dirasakan oleh warga NU. Peranan yang paling dominan adalah mensyiarkan Islam pada masyarakat awam, khususnya mereka yang berbasis pedesaan, yang asalnya mereka abangan atau kejawen, suatu istilah yang dipopulerkan Clifford Geertz (Nata, 1998: 347), menjadi masyarakat yang tahu Agama Islam. Kemudian mereka secara konsisten, menjalankan syari’ah Islam. Ini berlangsung sejak berdirinya NU sampai saat ini (Feillard, 1999: 282).
Demikian pula, secara nyata NU dapat dinyatakan sebagai pelindung pahan aswaja di Indonesia (Alaena, 2000: 57-64). Haal ini juga dapat dikatakan NU telah berfungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan cita-cita Ulama pendiri. Dan juga dalam masa perjuangan yang dikenal dengan Revolusi Fisik dengan puncak konstelasi pada 10 Nov. 1945 di Surabaya, NU dengan Ansharnya membentuk tentara Hisbullah membela tanah air dari rongrongan penjajah (Bruinessen, 1999: 303-304). Tidak akan dilupakan dlam kembar sejarah betapa gegap gembitanya perjuangan para pemuda setelah mereka mendengar fatwa Hadratusy Syeikh Hashim Asy’ari, sebagai Raisul Akbar NU, bahwa berjuang  mengusir tentara sekutu dalam pertempuran 10 Nov. 1945 tersebut adalah wajib ‘ain bagi setiap umat Islam (Fiellard, 1999: 41).
Di era kemerdekaan, khususnya dalam rezim Soekarno, NU mwmbentuk partai politik. Mesin politik NU sangat ampuh dalam mengerim ambisi politik Soekarno yang dikenal dengan Demokrasi Terpimpinya (Fiellard, 1999: 43). Demikian pula dalam zaman orde baru, Nu sangat berperan dalam parlemen hingga melahirkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang sesuai dengan syari’ah Islam (Feillard, 1999: 195). Walaupun kemudian NU dikebiri sedemikian rupa sebagaimana diungkap oleh Robetr W. Hefneer (dalam Feillard, 1999: xviii). Akibat pengkibiran itulah NU secara total melepaskan dirinya dari dunia politik dengan keputusan. Di Muktamar 1984 di Situbondo, NU kembali ke khittah 1926, menhkususukan diri pada masalah diniyah Islamiyah. Konsentrasi pada pembinaan umat menjadi  hal utama bagi NU, walapun secara Implisit organusasi ini tetap berpolitik, apalagi tokoh sentralnya, KH. Idham Khalid pernah menjadi ketua DP/MPR selama beberapa periode.
TINJAUAN HISTORIS LEMBAGA PENDIDIKAN MA’ARIF NU
1. Latar Belakang Berdirinya LP Ma’arif NU
Jika NU lahir dari dorongan adanya konstelasi politik saat itu, baik yang bersifat nasional, misalnya penindasan rezim kolonial Belanda, ataupun bersifat internasional, yaitu lenyapnya khalifah Utsmaniyah Turki dan penguasaan kaum Wahabi atas kota Makkah dan Madinah, kemudian paham itu menyebar ke Indonesia. Maka berbeda dengan latar belakang hadirnya LP Ma’arif NU yang murni dilatarbelakangi oleh keadaan pendidikan umat Islam, utamanya keadaan pendidikan umat Islam tradisional yang berbasis pesantren dan tidak terkoordinasi dengan baik.
Suatu hal yang amat mendesak untuk segera direspon setelah adanya NU adalah mendirikan divisi pendidikan yang terorganisir dengan baik tetapi tetap berada dalam naungan NU. Hal seperti itu, disamping menandingi dan menanggapi pendirian lembaga pendidikan yang mengusung paham pembaruan sebagaimana dimotori para kaum Muslim Modernis, yang sudah melenceng dari haluan Aswaja dan tidak lagi berpatokan pada madzhab yang empat. Ditambah lagi, untuk merespon pendirian pendidikan missi zending yang disubsidi oleh kolonial Belanda. Juga hal pendorong utama LP Ma’arif didirikan adalah untuk memberikan pengajaran yang bersifat modern dengan memasukkan ilmu-ilmu keduniaan (fardhu kifayah) kepada generasi muda NU dengan tetap mempertahankan paham Aswaja.
Para tokoh NU memandang bahwa untuk menyeimbangkan pemahaman generasi penerus NU terhadap kehidupan ini sangat dibutuhkan penguasaan akan ilmu-ilmu, yang dikatakan sebagian orang dengan sebutan ilmu sekuler (Feillard, 1999: 276). Jika untuk kemaslahatan umat, mengapa ilmu-ilmu itu harus dijauhi. Tentu, jika ilmu-ilmu itu tidak dipelajari maka umat Islam, khususnya generasi NU semakain jauh tertinggal. Sementara umat-umat yang lain berada digaris depan menguasai berbagai segi kehidupan. Padahal Allah SWT berfirman:
Artinya: dan carilah (pahala) negri akhirat denga apa yang Allah anugerahkan padamu, tetapi jangan kamu lupakan bagianmu di dunia (Q.S. Al-qashas/ 28:77).
Juga firman-Nya:
Artinya:  Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dari kamu dan orang-orang berilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.S. Al-Mujadalah/ 58:11).

Demikian pula hadis Nabi SAW:
“apabila suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah)

Dalam hadis yang lain disebutkan:
“ mencari ilmu wajib atas setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan” (H.R. Ibnu Hibban dan Ibnu Ali dari anas) (Junaidi, 2003: 40-41).
Inilah sebenarnya latar belakang LP Ma’arif NU didirikan. Jika disederhanakan, latar belakang tersebut menjadi dua kondisi, yaitu:
a. Kondisi Makro
Kondisi ini meliputi:
1). Respon terhadap lembaga pendidikan para Modernis, seperti Muhamadiyah, Persis, al-Irsyad dan lain-lain.
2). Respon terhadap lembaga pendidikan para missionaris Kresten (missi zending), seperti Katolik dan Protestan.
3). Respon terhadap lembaga pendidikan milik pemerintah kolonial Belanda yang sekuler.
b. Kondisi Mikro
Kondisi ini meliputi:
1). Menata lembaga pendidikan milik NU agar terorganisia dan terkoordinasi dengan baik, efektif dan efesien.
2). Mengembangkan ilmu pengetahuan di lingkungan NU secara integral agar selaras dengan perkembangan IPTEK.
3). Mementingkan paham Aswaja pada generasi muda Muslim Indonesia.
2. Sejarah Perkembanagan LP Ma’arif NU.
Di Menes, Banten pada tanggal 11-16 Juni 1938, 12 tahun setelah NU didirikan di Surabaya, sedang berlangsunglah perhelatan akbar NU berupa Mu’tamar ke- 13 (Ensiklopedi Islam III, 2001: 354). Hal penting dari mu’tamar itu adalah didirikannya divisi khusus yang mengurusi masalah pendidikan dan diberi nama lembaga pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) NU, dengan ketuanya K.H. Abdul Wahid Hasyim (w 1953) (Thoha, 1994: 29).
Signifikansi LP Ma’arif NU didirikan merupakan cita-cita para Ulama NU yang m,elihat kondisi umat Islam selama dibawah penjajahan Belanda sangat terpuruk. Utamanya kondisi dalam pendidikan, umat Islam pada masa LP Ma’arif didirikan, atau kebelakang dari masa itu, dalam keadaan amat tertinggal dari lembaga pendidikan yang dikelola oleh Belanda, ataupun yang dikelola oleh organisasi-organisasi keagamaan lainnya.
LP Ma’arif didirikan merupakan wujud amanah dari Anggaran Dasar (AD) NU. Sebagaimana berbunyi:
”dibidang pendidikan dan pengajaran, mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran … untuk membina manusia Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, berkepribadian serta berguna bagi Agama, Bangsa dan Negara” (Bruinessen, 1999: 310).
AD di atas diputuskan dalam mu’tamar ke-13, kemudian diperbarui dalam mu’tamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo (Ensiklopedi Islam III, 2001: 356).
Dimasukkannya K.H. Abdul Wahid Hasyim sebagai ketua divisi LP Ma’arif NU yang pertama memang sangat tepat. Beliau adalah alumni ponpes Tebuireng yang didirikan oleh ayahnya, Hasyim Asy’ari (w 1947), di mana sejak 1935 ponpes tersebut telah memasukkan ilmu-ilmu umum sebagai kurikulum wajib di pondok tersebut. Ini semakin nyata, sebagaimana penulis gambarkan, bahwa LP Ma’arif hadir ingin memberikan solusi bagaimana umat Islam yang berbasis tradisionalis ini, –karena K.H. Abdul Wahid Hashim telah juga memberikan kebijakan pada LP Ma’rif sebagaimana yang ia tempuh dalam membina ponpes Tebuireng di Jombang sebelum menjadi ketua LP Ma’arif, tujuannya adalah– agar mempunyai bekal dalam mengarungi kehidupan dunia kelak yang ternyata itu sangat membutuhkan penguasaan akan ilmu-ilmu keduniaan. Demikian di atas tentu berangkat dari ajaran Islam sebagaimana disabdakan Nabi SAW:
“Bekerjalah untuk kehidupan duniamu seakan-akan kamu hidup abadi, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok” (H.R. Abu Daud, Tirmidhi, Ahmad dan Ibnu Majah).
Juga dalam sabda Nabi SAW yang lain:
Kalian lebih mengetahui urusan-urusan keduniaan kalian (H.R. Abu Daud) (Junaidi, 2003:41)
Demikian itu sangat mempengaruhi petumbuhan LP Ma’arif NU ke depan. Maka sangat masuk akal jika kemudian desain kurikulum LP Ma’arif, disamping memantapkan epistemology paha Aswaja yamh tetap dengan ketat berpatokan pada madzhab yang empat, juga kemudian memasukkan ilmu-ilmu, sebagaimana pendapat al-Ghazali yang dikutip oleh Syed al-Atas (dalam Daud, 2003: 282) disebut dengan ilmu fardhu kifayah, tak ayal lagi, NU melalui LP Ma’rif menampung ilimu-ilmu umum itu ke dalam kurikulumnya.
LP Ma’arif mencapau puncak ketenarannya waktu Subcha ZE (w 1972) memimpin (Bruinesssen, 1999: 78). Subchan sebagai pemuda yang mencuat lewat aksi-aksi anti Komunis di era 1960-an, bewrhasil menjadi tokoh nasional pada usia 32 tahun (Aula. Juni 1991: 59-60). Ia membentuk komando aksi penggayangan Gestapu (KAP-Gestapu) (Bruinessen, 1999: 86). Dalam masanya LP Ma’arif merasa diuntungkan karena posisi Subchan yang dekat dengan berbagai kalangan di puncak pemerintahan waktu itu. Ia dekat dengan kalangan meliter, utamanya petingginya, A.H Nasution. Sikapnya yang luwes, gaya bicaranya yang mempesona dan kuatan argumentasinya yang jitu, Subchan telah membawa LP Ma’arif menjadi lebih dikenal di luar NU. Ia mendekatkan para fungsionaris LP Ma’arif pada realitas dan kondisi sosial yang berkembang saat itu. Rupanya ia berhasil mengatur kurikulum dilingkungan LP Ma’arif lebih integritas, yang lebih sesuai dengan hakikat ilmu dalam Islam (Daud, 2003: 163-188).
Cukup disayangkan, akibat konflik NU dengan rezim Soeharto di era 1970-an, akhirnya kondisi departemen Agama yang sejak masa kemerdekaan dipegang oleh Ulama NU, lepas dari genggamannya, yang pada masa terakhir itu dipimpin oleh K.H. Syaifuddin Zuhri (Bruenessen, 1999:80). Lepasnya departemen ini dari genggaman NU berimplikasi amat besar kepada institusi NU dan juga LP Ma’arif itu sendiri. Maka bulan madu antara NU, sebagai atasan LP Ma’arif, dengan pemerintah cq. Departemen Agama, akhirnya buyar sama sekali. Kebijakan pemerintah yang berpihak pada NU sebelum departemen ini jatuh pada kaum Muslim modernis, akhirnya putus. Nuansa ke-NU-an yang sangat kental pada era orde lama yang diterapkan pada madrasah atau sekolah yang dikelola oleh departemen Agama dan madrasah-madrasah suasta, oleh Ahmad Mukti Ali, pengganti K.H. Syaifuddin Zuhri, dihilangkan sama sekali. NU dan LP Ma’arifnya termarginalkan. Lembaga-lembaga pendidikan dibawah NU memperoleh perlakuan diskriminatif. Kesan ini sepertinya terus menerus berlangsung sepanjang rezim orde baru berkuasa (Feillard, 1999:304). Baru kemudian kesan itu hilang setelah reformasi bergulir.
Akibat dari perlakuan dari diskriminatif ini sekolah-sekolah menyembunyikan keterkaitan mereka dengan NU. Saat itu, tidak lagi terdengar istilah madrasah ibtida’iyah NU (MINU), sekolah dasar NU (SDNU), madrasah tsanawiyah NU (MTSNU), sekolah menengah NU (SMPNU/SMANU). Mereka menngunakan nama-nama yang kurang mencolok, seperti sekolah “Wahid Hasyim”, nama mantan mentri Agama. Dengan alasan yang sama, pada tahun 1972, Universitas NU di Malang diberi nama Universitas Sunan Giri, nama salah seorang walisanga (Feillard, 1999:304).
Pengelolaan yang tidak baik dan pemusatan konsentrasi pada aktifitas politik juga menjadi penyebab lambannya sistem pendidikan NU. LP Ma’arif sebagai divisi pendidikan NU sejak awal tahun 1970-an sudah mengkhatirkan penyusutan anggotanya. Pada masa itu, 30% sekolah telah menarik diri dari LP Ma’arif.
Pada tahun 1984, dalam upayanya untuk mendapatkan kembali sekolah yang hilang atau bersembunyi dibalik nama pinjaman, LP Ma’arif mengeluarkan peraturan baru yang meminta sekolah-sekolah yang sealiran dengan NU agar dengan jelas menyatakan identitas dan kembali mendaftarkan diri ke LP Ma’arif. Permintaan ini hingga tahun 1987, tidak begitu membuahkan hasil, dan ini membawa akibat yang sangat buruk bagi usaha mendapatkan dana yang diperlukan untuk mengurusi sekolah-sekolah NU. Namun pada tahun 1991, beberapa pengurus pendidikan di daerah melihat madrasah-madrasah mulai mendaftarkan diri ke LP Ma’arif dan nama NU mulai muncul kembali dipapan nama yang dipasang didepan sekolah masing-masing (Feillard, 1999:305). Pada era itu pula, sekolah-sekolah dibawah NU kembali dilirik masyarakat muslim dan siswa yang masukpun mengalami kenaikan cukup baik. Demikian pula perguruan tinggi dibawah NU bertambah banyak dibangun. Di Malang ada Unisma, di Bandung ada Unisba, di Jember UIJ, dan di Madura ada UIM. Semua ini menandakan perkembangan yang semakin baik dalam LP Ma’arif hingga masa reformasi ini.
PROGRAM LP MA’ARIF NAHDLATUL ULAMA
Sebuah program yang dicanangkan oleh organisasi, apapun bentuk organisasi itu mempunyai tempat yang signifikan. Sebab program, sebagaimana didefinisikan dalam KBBI, adalah rancangan mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang akan dijalankan oleh sebuah badan atau organisasi (KBBI, 1999:789).
Sebagai sebuah badan atau organisasi yang baik LP Ma’arif  membuat program-program yang biasa digodok dalam lima tahun sekali dalam setiap muktamar yang dilaksanakan oleh organisasi induknya, NU.
Adapun program-program tersebut dapat penulis jabarkan sebagai berikut:
  1. Program Jangka Panjang (PJP).
Program di atas dievaluasi setiap lima tahun sekali yaitu waktu NU mengadakan Muktamar. Sebab LP Ma’arif bukan organisasi otonom NU yang mempunyai Anggaran Dasar atau Anggaran Ruma Tangga (AD/ART), seperti misalnya Muslimat NU, IPNU, IPPNU, GP Ansor. Maka LP Ma’arif dalam mewujudkan program-programnya tetap berpatokan kepada AD/ART NU dan kebijakan-kebijakan NU lainnya (Ensiklopedi Islam III, 2001: 348-352).
Pola pengembangan NU yang sekaligus diadopsi sebagai program LP Ma’arif jangka panjang adalah: tujan, landasan, dasar pengembangan dan program umum.
  1. Tujuan
Makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan. Adanya perbedaan konseptual dan penjelasan kesua unsur ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam memahami substansi, peranan dan tujuan hidup manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kita menjumpai perbedaan pendapat dikalangan ahli pendidikan, terutama di Barat mengenai tujuan dan kurikulum pendidikan (Daud, 2003:163).
Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan. Pertama, berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik. Kedua, berorientasi pada individu, yang lebih terfokus pada kebutuhan, daya tampung dan minat  pelajar (Daud, 2003:163). Maka jika penulis memperhatikan eksistensi LP Ma’arif dapat diduga dengan jelas bahwa tujuannya mempunyai kecenderungan kepada poin pertama, yaitu berorientasi kepada masyarakat Muslim Indonesia demi mewujudkan cit-cita NU dalam bidang pendidikan dan pengajaran (Ensiklopedi Islam III, 2001: 346).
  1. Landasan
Adapun landasan LP Ma’arif
  1. Dasar pengembangan
  2. Program umum
  1. Program Jangka Menengah (PJM).
  1. Program Jangka Pendek (PJP)